Rabu, 22 Desember 2021

CARA TERINDAH UNTUK MENGENAL DIRI SEJATI




Firman Allah SWT.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.
Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.” (QS. Fussilat : 53).
✍️
Seluruh umat Islam di dunia mengatakan bahwa semua mahluk sangat bergantung dan tergantung kepada Allah SWT, seberapa besar ketergantungan makhluk kepada Allah SWT. merupakan pertanyaan yang terkadang susah dibuktikan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Belum lagi pertanyaan :
Apakah Allah SWT. dapat dilihat dengan mata, bagaimana rupa dan bentuk-Nya ? dan tidak jarang penganut yang tidak mempercayai adanya Allah SWT memutarbalikkan fakta dan kata-kata yang menyimpulkan sebenarnya Allah SWT. tidak ada.
Disini kami mencoba membuktikan bahwa makhluk sangat membutuhkan Allah SWT. dan menjelaskan bagi mereka yang ingin melihat wujud Allah SWT.

Salah satu wasiat Abah Guru Sekumpul martapura,
Haddratus syeikh KH.Muhammad Zaini Abdul Ghani yaitu yang intinya sebagai berikut:
Tidak sempurna ma’rifat seseorang kecuali mengenal dua perkara, yaitu mengenal asal kejadian diri dan mengenal yang pertama diciptakan Alah SWT.
Yang pertama diciptakan Allah SWT. adalah Nur Muhammad, dari Nur Muhammad diciptakanlah Ruh segala makhluk.
sedangkan jasad diri berasal dari nabi Adam dan nabi Adam diciptakan dari tanah.
Tanah diciptakan dari air sedangkan air diciptakan dari angin.
Angin diciptakan dari api sedangkan api diciptakan dari Nur Muhammad juga.
Secara skematis bisa kami gambarkan seperti dibawah ini :


Dan (ingatlah), ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang di beri bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan ruh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud . (QS. Al-Hijr : 28-29).

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna penciptaannya sehingga bisa mewakili semua mahluk tentang ketergantungan yang sangat mutlak kepada Allah SWT.
Berdasarkan skema diatas maka tentulah semua asal penciptaan dari Nur Muhammad sampai dengan tanah ada di dalam diri manusia.
seberapa besar ketergantungan manusia terhadap asal penciptaannya dan kenampakan asal penciptaannya bisa dilihat pada tabel berikut :



Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa :
Kebutuhan manusia meningkat seiring tingginya asal penciptaan
Penampakan asal penciptaan semakin tidak terlihat seiring tingginya asal penciptaan.
Tentulah sangat besar ketergantungan kita kepada Allah yang Maha Pencipta dan tidak mungkin Allah dapat dilihat dengan alat apapun didunia ini.
Bagaimana bisa melihat Allah, sedangkan pikiran yang jelas ada dalam diri kita saja tidak bisa dilihat, begitu pula ucapan berupa suara yang keluar dari mulut sendiripun tidak bisa dilihat.

Pembuktian secara matematika bahwa Allah SWT. jelas dan nampak akan kami coba ungkapkan dalam tulisan berikutnya nanti (dengan perkenan-Nya).

Sekian
πŸ™πŸ™
Mohon maaf...mohon ridho.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh !!

BERSAKSI KEPADA ALLAH BUKAN BERSATU DENGAN ALLAH




"Bersyahadat yang benar yaitu menjadi saksinya Allah bukan bersatu dengan Allah".
Paham Wahdatul wujud akan mengatakan bersyahadat yang benar itu " Allah menyaksikan Allah bukan jiwa yang menyaksikan Allah " jika jiwa menyaksikan Allah mereka katakan masih ada makhluk, bersyahadat itu meniadakan selain Allah. Jawab saja ketika kita sadar Allah maka yang ada hanya Allah yang kita sadari yang kita saksikan, anda mengatakan masih ada mahluk karena anda sedang berpikir bukan sedang menyadari" ============================================= "Ana Al Haq atau akulah Tuhan itu mengaku Tuhan karena egonya belum zero" ============================================= "Saya bersaksi bahwa Allah meliputi segala sesuatu, bukan aku bersatu dengan yang meliputi segala sesuatu" ============================================= "Ketika kita mengikuti kehendak Allah berarti kita telah bersatu dalam kehendak-Nya, maka sadarilah Allah dalam setiap perbuatan kita " ============================================ "Kalau anda bersatu dengan Tuhan coba cari siapa yang menyaksikan anda bersatu dengan Tuhan" Paham wahdatul wujud itu meninggalkan sholat dan aliran yang memang tidak mengikuti syariat. Kadang-kadang paham ini digunakan untuk tameng, mereka mengatakan orang yang sholat itu levelnya di bawah mereka, orang sholat tingkatannya lebih rendah. ============================================= Sebenarnya itu proses psikologis, ketika seseorang mendekat kepada Allah, kalau memang tujuannya benar-benar mendekat kepada Allah. Orang yang mendekat kepada Allah pada level-level tertentu, ketika dia mendekat egonya masih ada maka ke-Akuannya masih ada. Pengakuan yang mengaku dirinya telah bersatu itu karena egonya masih ada padahal dalam Islam adalah memfanakan ego sehingga menjadi saksi. ============================================ Dalam dzikir napas pengakuan ego itu dihilangkan, ketika napas keluar egonya dihilangkan dengan berserah diri, tarik napas huu napas keluar Allah. Kalau sudah maka kita akan mengalami fana, ketika fana itulah Nafi isbat yaitu peniadaan semua, yang ada adalah Allah, peniadaan kekuatan, yang ada adalah kekuatan Allah. πŸ’¨=========================================== Belajar spiritual dengan dzikir napas itu kita tidak akan wahdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti tapi kita akan wahdatul syuhud atau penyaksian kepada Allah dan itulah yang kita sebut dengan bersyahadat, kebersaksian kepada Allah. Memang nggak ada, yang nggak ada itu siapa ? Egonya bukan jiwa/diri sejatinya yang nggak ada. Kalau jiwanya nggak ada lalu yang menyaksikan siapa ? Yang menyaksikan kalau dirinya sudah nggak ada itu siapa ? Yang menyaksikan itu tetap ada, itulah yang namanya jiwa atau diri sejati,itulah yang namanya jiwa atau diri sejati, nggak akan hilang yang hilang adalah ke-egoannya.
πŸ™πŸ™✍️ 
Repost.
TG.
Bp.Setiyo Purwanto Dzikir Nafas

Kamis, 16 Desember 2021

HAKIKAT MALAIKAT ITU APA???




Baiklah...
Kali ini kita kembali membuka sedikit rahasia Tuhan. Setelah menguraikan kemanunggalan semesta dalam perspektif saintifik dan tasawuf, kita akan bahas keberadaan para malaikat (co-creator) serta peran orang-orang suci ini dalam menata dunia. Saya tidak menyarankan artikel ini dibaca anak-anak. Mereka cukup dihafalkan nama 10 malaikat dengan tugas-tugasnya.
Tapi, bagi anda yang sudah dewasa, sudah saatnya memiliki pemahaman advanced tentang eksistensi makhluk yang tercipta dari “nur” ini. 

 ------------------------------------------ --------------------------------------------- πŸ’ž Kemanunggalan wujud Kemanunggalan manusia dengan alam dan Tuhan, baik dari sisi eksistensi (wujud dhahir) maupun esensi (wujud batin), bukan hayalan Ibnu Arabi, Mulla Sadra, atau ahli tasawuf lainnya. Saintis modern pun memberi pengakuan serupa. Salah satunya David Bohm, fisikawan ternama, kolega Albert Einstein di Princeton.
πŸ™ Sebelum kematiannya pada 1992, ia meninggalkan dua karya mencerahkan yang menjadi rujukan dalam melihat hubungan semesta dengan manusia. Publikasi ini dapat dibaca dalam “Wholeness and the Implicate Order”, London: Routledge & Kegan Paul, 1980. Juga dalam “Science, Order and Creativity”, New York: Bantam Books, 1987. 
❣️ Memang ia tidak pernah membahasakan Tuhan dalam penelitiannya. Namun observasinya membuktikan kesatuan dari seluruh dimensi yang ada: materi dengan immateri, yang nampak dengan yang tidak nampak. Semuanya, ternyata menyatu. Esensinya Esa. Meskipun secara kasat terlihat terbagi-bagi. Ia mengibaratkan alam semesta ini seperti arus yang mengalir. Bayangkan kolam, sungai, atau laut. Di dalamnya terlihat ada pusaran, riak, gelombang, percikan dan lainnya yang terus berubah. Semua ini secara “lahiriah” terlihat seperti pola, unit, atau struktur yang terpisah. Padahal, semuanya terkait erat dan saling terkoneksi.

Artinya, mereka tidak punya eksistensi independen. Semua berada pada satu bidang yang sama. Perbedaan-perbedaan itu hanya ilusi keterpisahan (independensi relatif). Pada hakikatnya mereka semua yang masing-masing terlihat punya gerak tersendiri, adalah satu. Kesatuan semua wujud ini diikat oleh sebuah matriks energi kosmik yang sangat agung. Pada kesempatan lain, Bohm malah menyimpulkan, bahwa dunia yang nampak ini adalah pancaran (proyeksi) dari dunia lain yang tidak terlihat. Ia gambarkan semesta ini sebagai hologram kosmik, saling terdistribusikan namun tidak terpisahkan. Dalam bahasa agama, dunia ini sudah punya bentuk awal di dunia ruh. Berbeda, tetapi tidak terpisah,lahir dan batin, itu Kemanunggalan manusia dengan realitas immateri yang menjadi misteri dibalik semua fenomena alam, juga disampaikan John Wheeler, rekan Einstein lainnya di Princeton University (“Synchronity: The Bridge between Matter and Mind”, New York: Bantam Books, 1987). Alih-alih melihat manusia sebagai makhluk terpisah dan berdiri sendiri, ia justru membuktikan sebaliknya. Manusia satu kesatuan dalam segalanya. Kalau selama ini dianggap ada “jarak” antara manusia dengan Tuhan (sebagaimana pemahaman kaum teolog), ternyata kita justru “partisipan” yang bersama-sama dengan Tuhan ikut berkreasi (menciptakan).

Kita memang bukan Tuhan.
Tapi, seperti kata Rumi:
“kita sedang berenang dalam samudera Ilahi.”
Kita justru ada di dalam dan bersama-Nya.
πŸ’ Semua penjelasan ilmiah ini terkait dengan ayat-ayat: 

“Kepunyaan Allah timur dan barat” (QS. Al-Baqarah: 142);
“Kemanapun engkau menghadap disana ada Wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115);
“Dia lebih dekat dari urat lehermu” (QS. Qaff: 16),
“Dia bersama kamu dimanapun kamu berada” (QS. Al-Hadid: 4); 
“Yang awal dan akhir, yang dhahir sekaligus batin” (QS. Al-Hadid: 3); dan lainnya.

Temuan-temuan fisika quantum ini semakin mengukuhkan ketauhidan sufi. Hanya saja, orang-orang terlalu awam untuk memahami konsep-konsep klasik Ibnu Arabi. Wahdatul wujud sulit dimengerti. Selama ini hanya ada penjelasan falsafi. Tanpa pembuktian saintifik. Atau mungkin perang pemikiran antara kalam dengan tasawuf tidak pernah usai. Memang tidak mudah membawa manusia kepada kesadaran tauhid yang integral atau serba meliputi (manunggal). Cara berfikir kita dipengaruhi oleh sekat-sekat (hijab) psikologis, suka melihat sesuatu secara terpisah. Padahal, jika kita mau terbang sebentar saja ke atas, partikularitas akan lenyap dalam kemanunggalan. Segala sesuatu terlihat satu.
Jadi, apa yang harus kita lakukan agar memiliki kesadaran yang lebih esensial?
Jika Bohm dan Wheeler menawarkan up-grading pemahaman saintifik guna memahami kemanunggalan sisi kasat/sekala (explicate) dengan sisi tidak kasat/niskala (implicate) alam semesta; tasawuf menawarkan up-grading pikiran atas sadar (mind/soul) untuk merasakan pengalaman menyatu dengan jiwa kosmik (al-Ruh al-Ilahi).

Sesungguhnya kita semua berasal dari “diri” atau jiwa kosmik yang sama. Kita bisa kembali kesana. Justru silaturahim dengan seluruh elemen ekologis dan kemanusiaan akan terbangun jika kita berada pada kesadaran tauhid yang seperti itu. Kita akan melihat alam semesta dan seluruh isinya sebagai pasangan, sebagai bagian dari diri kita sendiri: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu..” (QS. An-Nisa: 1).

πŸ’— Itulah kesatuan wujud. Sehingga tidak heran, sosok-sosok yang telah mencapai pencerahan seperti ini, para rasul misalnya, memiliki sifat raufurrahim yang sangat tinggi: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (kebaikan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah: 128). Mereka itu ibarat matahari, yang tidak pernah berhenti menyinari seluruh manusia. Sosok-sosok ini berasal dari “kaummu” sendiri. Bukan dari suku Arab an sich! Tapi dari jiwamu sendiri. Dari kosmik yang sama. 

πŸ’ŒπŸ’Œ ---------------------------------- --------------------------------------------- Co-Creator dan Kesadaran Kosmik Karena pusat jiwa alam semesta ini bersifat immateri, maka diperlukan metode “peleburan diri” (quantum batiniah) untuk bisa larut bersamanya. Tentu harus dengan bimbingan seorang supervisor yang berpangkat jibril. Sehingga, praktik irfan (tariqah) sejauh ini terbukti menjadi satu-satunya metodologi yang mampu membawa manusia berada dipuncak kesadaran kosmik yang “serba meliputi” (sidrah almuntaha). Kesadaran kosmik ini berhasil dicapai oleh sebagian manusia. Orang-orang ini berhasil menghubungkan dirinya dengan “otak” (jiwa atau pusat kesadaran) alam semesta. Jiwa rendahnya mampu disatukan dengan kesadaran kosmik yang sangat tinggi (al-Ruh al-Muhammadi).
Atas prestasinya ini, mereka kemudian disebut sebagai nabi (serta imam atau wali-wali). Kesadaran orang-orang ini adalah pancaran (tajalli) dari kesadaran Ilahi. Mereka mampu mengakses informasi kosmik (wahyu/ilham) secara baik. Oleh sebab itu, mereka bisa berbicara atas nama Tuhan. Karena sudah menyatu dengan kesadaran ilahiyah, mereka menjelma menjadi “Rasulullah”, “Kalimatullah”, atau “Ruhullah” (QS. An-Nisa: 171), “Khalilullah” (QS. An-Nisa: 125), 

“Habibullah”, ataupun dibanyak ayat lainnya disebut “Waliyullah”. Mereka menjadi co-Creator. Wakil Tuhan. Bahkan sama berkuasanya dengan Tuhan.
Qudrah iradah Allah termanifestasi dalam niat dan gerak mereka. Apa yang terlintas dalam kesadaran mereka akan berubah menjadi kenyataan. Kun fayakun. Kehendaknya terkabul. Doanya makbul. Kemarahan mereka akan menjadi malapetaka. Betapa banyak umat yang hancur karena mereka menginginkannya. Hanya dalam sekali “klik”, semua binasa.  

πŸ™Malaikat.
Struktur kedirian manusia-manusia kosmik ini terbangun dari kesadaran, kekuatan, ilmu, atau asma yang merupakan “cahaya” Tuhan (nurun ‘ala nurin) itu sendiri. Mereka itulah “malaikat”. Orang-orang ini memiliki ruh yang tidak pernah berhenti bertasbih kepada-Nya. Meskipun fisiknya ada di bumi; mereka ini makhluk “langit” (atau “surgawi”).
Kesadarannya sudah lebur (fana) bahkan kekal (baqa) bersama Allah. Fungsi utama mereka adalah khalifatullah, yang bertugas menebarkan rahmat, menata dan memelihara jagat raya. Sehingga doa (kesadaran utama) para nabi dan wali-wali termasuk menolak bala, wabah, malapetaka, bencana, kekejian, dan kemungkaran. Selain juga ada yang berdoa untuk kehancuran musuh-musuhnya. Meskipun jumlah malaikat banyak sekali, secara umum ada 10 fungsi kekuatan malakut. Ini sering dibahasakan dengan “10 jenis malaikat”. Malaikat-malaikat ini juga bergelar ‘alaihissalam (Jibril AS, Izrail AS, dan sebagainya). 

Sebuah kode agar kita paham siapa mereka. Jadi, jangan terlalu berhayal bahwa malaikat itu semacam perempuan cantik yang melayang-layang. Ataupun makhluk bersayap yang pahatannya sering kita temukan di dinding-dinding gereja. Kita suka sekali berimajinasi. Bahkan Buraq pun kita bayangkan dalam rupa semacam itu. Kalaupun ada riwayat tentang malaikat sebagai makhluk yang “sayapnya” terbentang dari timur ke barat, atau meliputi langit dan bumi; mungkin kita perlu sedikit lebih cerdas dalam memahaminya. Itu metafora tentang kesadaran kosmik para co-creator, para nabi dan wali (penolong-penolong Allah) yang ilmu dan kesadaran celestial-nya serba meliputi. Manusia-manusia berdimensi malakut ini bahkan memiliki kecepatan ‘terbang’ melebihi kekuatan cahaya. Mereka sering tau, mampu mengakses, apa yang akan terjadi dimasa depan. Itulah yang disebut kasyaf.

✍️🀝☺️ Karena itulah, dalam proses penciptaan, Allah sering menggunakan kata “kami”. Dia tidak sendiri. Dia bersama elemen malakut-Nya menjadi penentu eksistensi alam ini. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis qudsi: “Laulaka laulaka, ma khalaqtul aflaq”. Kalau bukan karena engkai wahai (nur) Muhammad, tidak kuciptakan alam semesta. Nur Muhammad adalah elemen malakut (co-creator), jiwa kosmik, Ilmu atau Asma Allah yang senantiasa hadir dalam jiwa para nabi, iman, dan wali-wali. Sehingga kekuatan-kekuatan supranatural ilahiyah, semacam mukjizat dan karamah, menjadi aktual.
Derajat kenabian dan keulamaan seseorang sering dibuktikan dengan keberadaan unsur-unsur malakutiyah ini. Kalau kesadaran malakutiyah dari kosmos benar-benar aktual dalam diri seseorang, maka ia menjadi “penghulu alam” (The Leader of Cosmic). Menjadi qutub. Menjadi poros alam semesta. Menjadi “tower ilahi”. Menjadi perangkat yang menerima “sinyal-sinyal” langit, lalu menyebarkannya dalam bentuk rahmat ke segala penjuru bumi. Sebab, tidak semua orang punya wadah untuk menerima pesan-pesan kosmik. Gunung yang terlihat kokoh sekalipun bisa hancur kalau diamanahkan Kalimah Allah (QS. Al-Hasyar: 21).

Hanya qalbu orang-orang mukmin yang mampu mencerap Kalimah Tuhan yang asli. Untungnya, dunia ini tidak pernah kosong dari kehadiran orang-orang seperti ini. Sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. Jika tidak, pasti akan kiamat. Ibarat masyarakat tanpa pemimpin, pasti anarkhi. Sebab, pemimpin adalah pusat kesadaran dan kepatuhan komunitas. Ada power yang mengikat semuanya. Pun alam semesta, tanpa ada lagi para “malaikat” (para nabi dan wali-wali) yang diamanahkan Tuhan untuk menyebarkan rahmat-Nya, pasti hancur. Sebab, para nabi dan wali-wali inilah yang menjadi wadah bagi Allah untuk “turun” ke dunia. Tanpa adanya lagi “cahaya Tuhan” (para nabi dan wali-wali) , tidak ada alasan bagi kosmik untuk melanjutkan kehidupannya. Sebab, kosmik ini sendiri adalah pancaran dari kehadiran cahaya-Nya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35).

πŸ€²πŸ‘ Kehadiran dan kewafatan Muhammad SAW adalah pertanda “akhir zaman”. Namun ada petunjuk lain dari Beliau yang mengatakan: “Dunia ini tidak akan kiamat selama masih ada dari hambaku yang mengucapkan Kalimah Allah”. Kalau sekedar mengucapkan “Allah, Allah”; sampai kiamat tetap ada. Malah makin hari makin ramai yang teriak kalimat syahadat. Namun, yang kalimahnya tersambung ke jantung kesadaran alam semesta hanyalah yang dimiliki oleh para nabi dan wali-walinya. Dzikir kita mana diterima. Hanya membuat gaduh saja. Tapi jangan kecewa. Mungkin ada sosok-sosok wali yang hadir diantara jamaah. Sehingga dzikir kita diterima. Wali itu “malaikat”. Ghaib. Tidak ada foto di baliho. Susah diketahui yang mana orangnya. Selama masih ada mereka, kita aman. Tidak akan kiamat. Lalu, kapan kiamat itu terjadi?
Hadits-hadits menyebutkan, kiamat akan terjadi pada saat “Al-Mahdi” (imam, wali atau qutb terakhir) telah tiada. Meninggalnya Al-Mahdi pertanda terputusnya arus ilahiyah, matinya kesadaran kosmik, atau padamnya cahaya dari alam azali. Wafatnya Al-Mahdi pertanda rubuhnya “tower” terakhir Allah Ta’ala di muka bumi. Karena tidak ada lagi khalifah atau malaikat-Nya, maka tidak ada lagi alasan bagi alam semesta untuk eksis. Semua mati, karena “arus” sudah terhenti.
Sebagaimana janji Allah dalam hadits qudsi diatas:
Laulaka laulaka ya Muhammad, ma khalaqtul aflaq. “Tidak eksis alam semesta ini, kecuali karena engkau wahai (nur) Muhammad”. Al-Mahdi, siapapun dia, adalah sosok kesadaran kosmik, imam, wali, atau qutb terakhir yang mewarisi (nur) Muhammad.

Maka wajar orang-orang khawatir jika ada ulama yang meninggal.
Sebab, ada dari sebagain ulama itu yang boleh jadi seorang “washilah”, pembawa Pengetahuan dari alam rabbani. Penyambung lidah Tuhan dengan manusia. Simpul energi. “Tali” yang menghubungkan manusia dengan Tuhan (QS. Aali Imran: 103).
πŸ‘‡ 🀝🀝🀝

Penutup.
Di akhir tulisan ini, kami mengajak kita semua untuk terus meng-upgrade diri. Menaikkan level divinity (ketuhanan) kita. Dari iblis, menjadi binatang, menjadi manusia, menjadi malaikat, dan seterusnya. Itulah yang disebut dengan proses “tazkiyatun nafs” (penyucian diri).
Alam ini akan aman dan damai kalau banyak malaikat yang terlibat dalam mengaturnya. Kalau kita jadi iblis, hancurlah semuanya. Karena alam ini butuh energi positif dari Tuhan agar berjalan pada porosnya. Jika tidak, ia akan memberontak. Chaos. Kiamat. Andalah orang-orang yang diutus ke muka bumi untuk amanat suci ini. Manusia adalah “makhluk makrokosmos”. Makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan Allah (QS. At-Tin: 4).

Dalam diri kita menyatu semuanya.
Ada unsur cahaya.
Ada unsur api.
Ada unsur tanah, dan lainnya.
Maka jangan meremehkan diri sendiri.
Kita bisa menjadi malaikat, bisa menjadi iblis, bisa menjadi binatang, atau bahkan lebih rendah dari itu. Pilihan terbaik, jadilah malaikat. Sebab, kalau kubilang “jadilah Tuhan”, marah nanti kalian.
Oleh sebab itu, “Rajin-rajinlah bertasbih, pagi dan petang”. Agar kalian jadi malaikat.
Tapi sesekali perlu diuji.
Misalnya, apakah anda sudah jadi Mikail, yang munajat-munajat anda mampu menurunkan hujan saat kemarau melanda.
Kalau belum, dzikir lagi !!

Repost.
TG.
#saidmuniruddin

SETELAH MA'RIFATULLAH ITU APA DAN BAGAIMANA???




BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM.
Awal dari beragama adalah mengenal Allah. Apa yang dimaksud dengan mengenal Allah? πŸ™✍️ 
 “Mengenal”, itu berbeda dengan “mengetahui”.
Kalau mengetahui, itu cukup sekedar tau bahwa Tuhan itu ada, dan namanya adalah Allah. Tauhid seperti itu. Ilmu tauhid hanya untuk tau Allah itu ada, dan Dia itu Esa. Cukup. Hanya segitu. Lebih dari itu ya sekedar menambah-nambah apa saja sifat yang kira-kira cocok buat Tuhan.
Tauhid itu Tuhan yang kita hayal dan karang-karang. Perseptual. Sebisa mungkin rasional. πŸ’˜πŸ’˜πŸ’˜ ---------------------------------------------- ---------------------------------------------- 
Sementara makrifat lebih dalam dari itu. Makrifat adalah pembuktian Dia itu ada. Bukan sekedar tau nama. Tapi usaha mendekat, dan benar-benar berjumpa. Bahkan akrab dan saling menyapa. Beruntung kalau bisa salaman. Para nabi sudah pada level ini. Sudah dialogis dengan Tuhannya. Adam, kalau tidak mencapai makrifat, mungkin akan selamanya menjadi pithecanthropus; yang mirip-mirip binatang dengan akhlak purbanya itu. Makrifatlah yang membuatnya menjadi sapiens sempurna. Menjadi makhluk langit. Makhluk syurga. 
 πŸ’Œ Makrifat berbeda dengan tauhid. Tauhid itu bertuhan secara pasif. Beragama secara awam. Duga-duga. Sekedar berbaik sangka. Terus rukuk dan sujud sambil berdoa, meski tak pernah dijawab-Nya. Memang kita disyariatkan untuk beribadah. Tapi ya begitu. Walau terus kita lakukan, tak sekalipun Tuhan menunjukkan wajah dan suaranya. Keislaman kita pada dimensi tauhid dan syariat, itu sifatnya pasif. Pada dimensi makrifat, keislaman menjadi sangat dinamis. Tuhannya sudah aktif. TV nya sudah hidup. HP nya sudah berbunyi. Pintu langit sudah terbuka. Dia senantiasa hadir dalam aneka cara. Dalam bentuk “gemerincing lonceng”, atau wujud spiritual lainnya. Dia sudah mulai berbicara. Dan kita pun sudah mampu merespon-Nya.

Tuhan itu Maha Berkata-Kata. Seandainya kita tidak tuli, bisu dan buta; kita pasti akan mampu berhubungan dengan-Nya (QS. Al-Baqarah: 18).
 πŸ’ž Untuk mencapai makam makrifat; penyakit tuli, bisu dan buta harus disembuhkan. Harus kasyaf. Karena hanya dengan tersibaknya tirai ruhaniah, gelombang kehadiran Tuhan menjadi terasa. Melalui mukasyafah, wujud keberadaan Tuhan dapat dicerap; tersaksikan dengan segala potensi lahir dan batin kita. Hanya dengan kasyaf, musyadahah terjadi. Syahadat menjadi sempurna. Kalau masih di alam Jabarut, Tuhan tidak akan pernah dikenali. Tidak terdeteksi. Tidak akan bisa dijumpai. Paling-paling hanya tau nama saja. Atau sekedar percaya. Orang kafir sekalipun, percaya Tuhan itu ada. Alam Jabarut itu alam binatang. Alam setan. Alam tabiat rendah (being). Alam dimana gelombang kesadaran kita hanya mampu menjangkau sinyal-sinyal bawah. Pada level ini, penampakan Tuhan terhalang oleh dosa-dosa kita. Penyembahan berhala juga rentan terjadi. Niat kita memang menyembah Allah, tapi Allahnya entah dimana. Meraba-meraba kita. --------------------------------------------- --------------------------------------------- 

πŸ’«πŸ’₯ Maka dibutuhkan usaha dan kesadaran untuk naik ke alam lebih tinggi. Alam Malakut. Pada tingakatan ini manusia mulai makrifat. Perlahan menjadi malaikat (becoming). Gelombang malakutnya mulai hidup. Ingat ya, makhluk yang mampu melakukan komunikasi transenden hanya malaikat. Hanya malaikat yang mampu berkomunikasi dengan Allah. Sehingga malaikat juga disebut sebagai “utusan Tuhan”. Membawa gelombang Tuhan.
Makanya para nabi mampu berkomunikasi dengan Tuhan. Sehingga anda seharusnya bertanya, nabi itu sebenarnya orang apa malaikat? Nabi itu orang, dengan infrastruktur malaikat. Ruhaninya selalu terjaga. Tidak pernah berhenti bertasbih. Sudah baqa' Billah,Maksum dan Suci.
Para nabi (wali dan orang-orang shaleh yang hidup pada setiap masa) merupakan orang-orang yang telah aktif jaringan batin malaikatnya. Sehingga tidak heran, banyak manusia ditemukan dalam Alquran mampu berkomunikasi dengan Tuhan. Biasa itu. Kalau sudah hidup energi malaikat dalam diri, ke langit ketujuh pun anda bisa mengirim WA. Teknologi komunikasi transendental ini hanya bisa di upgrade melalui proses inkubasi spiritual. Tentunya melalui bimbingan para malaikat, melalui sang jibril (imam/wali) pembawa sertifikat sanad ruhaniah sebelumnya. Jadi, sebenarnya tidak sulit untuk menjadi malaikat. Apalagi kalau bertemu seorang Guru yang memiliki stempel dari Tuhan. Carilah Washilah, pembawa sinyal dari langit. Carilah Waliyammursyida yang mewarisi sanad ruhaniah dari Jibril as. Mencari Guru tidak sulit. Bagi yang mau mencari. Yang sulit itu adalah, patuh pada Allah setelah berjumpa dengan-Nya. Ini yang gagal dilakukan oleh sejumlah malaikat. Sehingga mereka menjadi iblis (QS. Al-Baqarah: 34).

Iblis itu malaikat. Yang gagal patuh. Iblis itu sosok yang bermakrifah kepada Allah. Kenal betul Allah. Hidup dalam radius taman Tuhan. Tau rahasia-rahasia Allah SWT. Makanya keramat betul. Tapi suka melawan. Angkuh. Takabur. Inilah sifat-sifat yang paling ditakuti para sufi. Letaknya di hati. Sebenarnya, untuk mencapai makam makrifat pun, itu butuh usaha ekstra. Butuh suluk, perjalanan dan mujahadah jiwa yang intensif. Untuk mencapai makam seperti Syekh Barshisha, seorang ulama yang doanya bahkan lebih makbul dari Musa, itu sebuah pencapaian ruhani yang luar biasa. Tapi ya itu, ujungnya gagal patuh. Keseleo di jalan yang sangat halus. Kita pun begitu. Silap sedikit bisa lebih hancur dari Barshisha. Ampun Tuhan! Iblis, termasuk Azazil, adalah malaikat-malaikat yang terjatuh. Orang-orang yang dekat, sekaligus suka melanggar adab. Boleh dikatakan, sedikit yang selamat dari jebakan setan dan penyakit hati. Para nabi adalah bagian dari kelompok yang sedikit itu. Sehingga dalam Al-Qur’an para nabi disebut “muslim” (islam). Artinya, orang-orang yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah. Selalu menjaga hadap, untuk tidak sekalipun melawan Tuhan. Karena itulah mereka juga disebut “hamba Allah”. “Hamba Allah” bukan orang-orang seperti kita. Yang pura-pura merasa rendah, lalu dengan sombongnya menyebut diri sebagai hamba Allah. Hamba Allah adalah mereka yang sudah makrifat, sudah kenal Allah. Lalu memilih untuk tunduk dan patuh, pasrah secara total kepada Tuhan yang sudah dikenalinya itu. Hamba Allah adalah para nabi dan wali-walinya. Kalau kita, ya mirip-mirip hamba setan. Apa mirip, memang hamba setan. Karena masih hidup di warung-warung Jabarut. Di alam yang penuh turbulensi dan gangguan kejiwaan. Sebab, kalau hidup di Alam Malakut atau yang lebih tinggi dari itu, dari dulu kita sudah diterima dan mampu berkomunikasi dengan-Nya. Jadi, Awaluddin Makrifatullah. Awal agama adalah mengenal Allah.

Artinya, mencapai makrifat itu penting. Sangat penting. Karena ini cara kita bangkit dari level binatang menjadi manusia. Tapi setelah itu, apa? Tentu ada yang lebih menantang. Yaitu berusaha untuk menjaga adab. Untuk senantiasa patuh kepada Allah yang sudah dikenali. Untuk senantiasa menyembah. Melayani dan mengabdi. Sehingga bagi para sufi, adab itu di atas ilmu. Untuk apa lagi ilmu. Sudah mengenal Tuhan, itu sudah puncak dari segala ilmu. Sekarang, bagaimana cara taat kepada-Nya. Itu yang penting. Makanya, orang “cerdas” susah sampai kepada Tuhan. Harus ummi. Harus bodoh memang. Karena itulah banyak filsuf yang kemudian hari beralih ke sufisme, guna merasakan kehadiran Tuhan. Sebab, otak memang tidak mampu untuk itu. Entah kenapa tiba-tiba saya menulis ini. Tentu sebagai bahan refleksi dan kritik untuk diri sendiri. “Berat sekali agama ini”. Mengenal Allah saja sulit. Apalagi untuk patuh kepada-Nya. Nabi Muhammad sendiri rasanya ingin lari. Ingin terus menarik selimutnya. Tok gara-gara terlanjur makrifat! Pada awalnya, hidup beliau sudah nyaman sekali. Bolak balik kawan itu melakukan wisata niaga, Mekkah-Syam. Sambil ngopi-ngopi sepanjang jalan. Tiba-tiba ia mengenal Tuhan. Jadi Nabi pula. Lalu disuruh perangi kaum dan saudara-saudaranya sendiri. Berat itu !!

πŸ’•πŸ’•πŸ’• ---------------------------------------------- ---------------------------------------------- Sebagian nabi beruntung bisa survive. Tapi tidak sedikit dari mereka yang dibenci, diisolasi dan dituduh sesat. Bahkan banyak pewarisnya yang dibunuh, diracun. Makanya, tidak usahlah bercita-cita menjadi ulama. Apalagi sampai ada sekolah yang bertujuan melahirkan ulama. Bukan tugas kita. Didik saja orang untuk menjadi orang kaya, biar berkurang jumlah orang miskin di sekeliling kita. Yang disebut ulama itu adalah nabi. Pewaris tauhid dan makrifatnya nabi. Tidak ada sekolah untuk itu. Dan tidak usah bercita-cita untuk jadi itu. Jadi orang baik saja sudah lebih dari cukup. Kalau sekedar ingin menguasai kitab, menjadi ahli kitab, itu silakan. Bagus sekali. Ada sekolahnya. Ada kurikulumnya. Sejak di pesantren sampai S3. Baik di dalam maupun luar negeri, dengan aneka text book (Arab, Inggris dan Jawi).

Tapi kalau sampai mewarisi keramat/mukjizat ilahi, itu tidak ada sekolahnya. Tidak diperoleh dengan banyak membaca, atau sekolah tinggi-tinggi. Silakan mempelajari agama untuk mengetahui tentang seluk beluk Islam. Tapi untuk menjadi ulama sebagai pewaris (mukjizat) nabi, sebaiknya jangan. Itu hak Tuhan. Saya tidak ingin membatasi jumlah ulama. Hanya definisi operasional “ulama” menurut saya sangatlah ketat. Mereka bukan wilayah otoritas pilihan manusia. Disaat yang sama memang banyak guru agama dan ahli fikih lainnya, yang mengajari kita mulai Alif Ba' sampai aneka ragam referen yang tidak terhitung jumlahnya. Semua WAJIB dihormati. Tapi ulama, itu wilayah ketetapan Tuhan. Terserah Dia mau memilih siapa untuk menjadi wakil-Nya. Karena mereka adalah imam, khalifah ruhaniah manusia. Bukan jenis orang yang kita angkat. Bukan hasil voting dalam sebuah kongres ternama. Bukan seseorang yang disahkan dengan SK-presiden, gubernur atau bupati. Justru merekalah yang meng-SK-kan presiden. Merekalah yang memanggil presiden, bukan sebaliknya. Mereka ini orang-orang yang sangat sabar. Tahan banting. Sidik. Amanah. Fatanah. Tabligh. Pantang menegosiasikan kebenaran. Konek dengan Tuhan. Kalau ada orang seperti ini, Alhamdulillah. Kalau tidak, berarti kita sedang kelangkaan ulama. Karena, kalau orang seperti saya disebut ulama, bisa kacau dunia. Sebab, belum dipanggil pun, sudah datang ke pendopo istana. Para nabi, seandainya bisa memilih, tak ada yang mau jadi utusan Tuhan. Para ulama/wali juga begitu. Tidak enak profesi mereka itu. Lebih enak jadi pedagang. Menjadi ulama memang bukan sesuatu yang dicita-citakan. Tapi mau bagaimana lagi. Terkadang sudah terlanjur menjadi kekasih Tuhan. Sudah dipanggil. Dikawal. Diawasi. Tidak bisa lari lagi. Sudah terlanjur bermakrifat !!

Repost.
TG.
#saidmuniruddin

Ilmu Spiritual Indonesia

ANTARA MURID THORIQOH DAN SANG MURSYID

Amaliyah thoriqoh atau tarekat adalah amaliyah dzikir yang diturunkan dari guru atau mursyid satu ke mursyid berikutnya. setiap murid yang m...

Kajian syariat,tarikat,hakikat dan makrifat