Kamis, 16 Desember 2021

SETELAH MA'RIFATULLAH ITU APA DAN BAGAIMANA???




BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM.
Awal dari beragama adalah mengenal Allah. Apa yang dimaksud dengan mengenal Allah? πŸ™✍️ 
 “Mengenal”, itu berbeda dengan “mengetahui”.
Kalau mengetahui, itu cukup sekedar tau bahwa Tuhan itu ada, dan namanya adalah Allah. Tauhid seperti itu. Ilmu tauhid hanya untuk tau Allah itu ada, dan Dia itu Esa. Cukup. Hanya segitu. Lebih dari itu ya sekedar menambah-nambah apa saja sifat yang kira-kira cocok buat Tuhan.
Tauhid itu Tuhan yang kita hayal dan karang-karang. Perseptual. Sebisa mungkin rasional. πŸ’˜πŸ’˜πŸ’˜ ---------------------------------------------- ---------------------------------------------- 
Sementara makrifat lebih dalam dari itu. Makrifat adalah pembuktian Dia itu ada. Bukan sekedar tau nama. Tapi usaha mendekat, dan benar-benar berjumpa. Bahkan akrab dan saling menyapa. Beruntung kalau bisa salaman. Para nabi sudah pada level ini. Sudah dialogis dengan Tuhannya. Adam, kalau tidak mencapai makrifat, mungkin akan selamanya menjadi pithecanthropus; yang mirip-mirip binatang dengan akhlak purbanya itu. Makrifatlah yang membuatnya menjadi sapiens sempurna. Menjadi makhluk langit. Makhluk syurga. 
 πŸ’Œ Makrifat berbeda dengan tauhid. Tauhid itu bertuhan secara pasif. Beragama secara awam. Duga-duga. Sekedar berbaik sangka. Terus rukuk dan sujud sambil berdoa, meski tak pernah dijawab-Nya. Memang kita disyariatkan untuk beribadah. Tapi ya begitu. Walau terus kita lakukan, tak sekalipun Tuhan menunjukkan wajah dan suaranya. Keislaman kita pada dimensi tauhid dan syariat, itu sifatnya pasif. Pada dimensi makrifat, keislaman menjadi sangat dinamis. Tuhannya sudah aktif. TV nya sudah hidup. HP nya sudah berbunyi. Pintu langit sudah terbuka. Dia senantiasa hadir dalam aneka cara. Dalam bentuk “gemerincing lonceng”, atau wujud spiritual lainnya. Dia sudah mulai berbicara. Dan kita pun sudah mampu merespon-Nya.

Tuhan itu Maha Berkata-Kata. Seandainya kita tidak tuli, bisu dan buta; kita pasti akan mampu berhubungan dengan-Nya (QS. Al-Baqarah: 18).
 πŸ’ž Untuk mencapai makam makrifat; penyakit tuli, bisu dan buta harus disembuhkan. Harus kasyaf. Karena hanya dengan tersibaknya tirai ruhaniah, gelombang kehadiran Tuhan menjadi terasa. Melalui mukasyafah, wujud keberadaan Tuhan dapat dicerap; tersaksikan dengan segala potensi lahir dan batin kita. Hanya dengan kasyaf, musyadahah terjadi. Syahadat menjadi sempurna. Kalau masih di alam Jabarut, Tuhan tidak akan pernah dikenali. Tidak terdeteksi. Tidak akan bisa dijumpai. Paling-paling hanya tau nama saja. Atau sekedar percaya. Orang kafir sekalipun, percaya Tuhan itu ada. Alam Jabarut itu alam binatang. Alam setan. Alam tabiat rendah (being). Alam dimana gelombang kesadaran kita hanya mampu menjangkau sinyal-sinyal bawah. Pada level ini, penampakan Tuhan terhalang oleh dosa-dosa kita. Penyembahan berhala juga rentan terjadi. Niat kita memang menyembah Allah, tapi Allahnya entah dimana. Meraba-meraba kita. --------------------------------------------- --------------------------------------------- 

πŸ’«πŸ’₯ Maka dibutuhkan usaha dan kesadaran untuk naik ke alam lebih tinggi. Alam Malakut. Pada tingakatan ini manusia mulai makrifat. Perlahan menjadi malaikat (becoming). Gelombang malakutnya mulai hidup. Ingat ya, makhluk yang mampu melakukan komunikasi transenden hanya malaikat. Hanya malaikat yang mampu berkomunikasi dengan Allah. Sehingga malaikat juga disebut sebagai “utusan Tuhan”. Membawa gelombang Tuhan.
Makanya para nabi mampu berkomunikasi dengan Tuhan. Sehingga anda seharusnya bertanya, nabi itu sebenarnya orang apa malaikat? Nabi itu orang, dengan infrastruktur malaikat. Ruhaninya selalu terjaga. Tidak pernah berhenti bertasbih. Sudah baqa' Billah,Maksum dan Suci.
Para nabi (wali dan orang-orang shaleh yang hidup pada setiap masa) merupakan orang-orang yang telah aktif jaringan batin malaikatnya. Sehingga tidak heran, banyak manusia ditemukan dalam Alquran mampu berkomunikasi dengan Tuhan. Biasa itu. Kalau sudah hidup energi malaikat dalam diri, ke langit ketujuh pun anda bisa mengirim WA. Teknologi komunikasi transendental ini hanya bisa di upgrade melalui proses inkubasi spiritual. Tentunya melalui bimbingan para malaikat, melalui sang jibril (imam/wali) pembawa sertifikat sanad ruhaniah sebelumnya. Jadi, sebenarnya tidak sulit untuk menjadi malaikat. Apalagi kalau bertemu seorang Guru yang memiliki stempel dari Tuhan. Carilah Washilah, pembawa sinyal dari langit. Carilah Waliyammursyida yang mewarisi sanad ruhaniah dari Jibril as. Mencari Guru tidak sulit. Bagi yang mau mencari. Yang sulit itu adalah, patuh pada Allah setelah berjumpa dengan-Nya. Ini yang gagal dilakukan oleh sejumlah malaikat. Sehingga mereka menjadi iblis (QS. Al-Baqarah: 34).

Iblis itu malaikat. Yang gagal patuh. Iblis itu sosok yang bermakrifah kepada Allah. Kenal betul Allah. Hidup dalam radius taman Tuhan. Tau rahasia-rahasia Allah SWT. Makanya keramat betul. Tapi suka melawan. Angkuh. Takabur. Inilah sifat-sifat yang paling ditakuti para sufi. Letaknya di hati. Sebenarnya, untuk mencapai makam makrifat pun, itu butuh usaha ekstra. Butuh suluk, perjalanan dan mujahadah jiwa yang intensif. Untuk mencapai makam seperti Syekh Barshisha, seorang ulama yang doanya bahkan lebih makbul dari Musa, itu sebuah pencapaian ruhani yang luar biasa. Tapi ya itu, ujungnya gagal patuh. Keseleo di jalan yang sangat halus. Kita pun begitu. Silap sedikit bisa lebih hancur dari Barshisha. Ampun Tuhan! Iblis, termasuk Azazil, adalah malaikat-malaikat yang terjatuh. Orang-orang yang dekat, sekaligus suka melanggar adab. Boleh dikatakan, sedikit yang selamat dari jebakan setan dan penyakit hati. Para nabi adalah bagian dari kelompok yang sedikit itu. Sehingga dalam Al-Qur’an para nabi disebut “muslim” (islam). Artinya, orang-orang yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah. Selalu menjaga hadap, untuk tidak sekalipun melawan Tuhan. Karena itulah mereka juga disebut “hamba Allah”. “Hamba Allah” bukan orang-orang seperti kita. Yang pura-pura merasa rendah, lalu dengan sombongnya menyebut diri sebagai hamba Allah. Hamba Allah adalah mereka yang sudah makrifat, sudah kenal Allah. Lalu memilih untuk tunduk dan patuh, pasrah secara total kepada Tuhan yang sudah dikenalinya itu. Hamba Allah adalah para nabi dan wali-walinya. Kalau kita, ya mirip-mirip hamba setan. Apa mirip, memang hamba setan. Karena masih hidup di warung-warung Jabarut. Di alam yang penuh turbulensi dan gangguan kejiwaan. Sebab, kalau hidup di Alam Malakut atau yang lebih tinggi dari itu, dari dulu kita sudah diterima dan mampu berkomunikasi dengan-Nya. Jadi, Awaluddin Makrifatullah. Awal agama adalah mengenal Allah.

Artinya, mencapai makrifat itu penting. Sangat penting. Karena ini cara kita bangkit dari level binatang menjadi manusia. Tapi setelah itu, apa? Tentu ada yang lebih menantang. Yaitu berusaha untuk menjaga adab. Untuk senantiasa patuh kepada Allah yang sudah dikenali. Untuk senantiasa menyembah. Melayani dan mengabdi. Sehingga bagi para sufi, adab itu di atas ilmu. Untuk apa lagi ilmu. Sudah mengenal Tuhan, itu sudah puncak dari segala ilmu. Sekarang, bagaimana cara taat kepada-Nya. Itu yang penting. Makanya, orang “cerdas” susah sampai kepada Tuhan. Harus ummi. Harus bodoh memang. Karena itulah banyak filsuf yang kemudian hari beralih ke sufisme, guna merasakan kehadiran Tuhan. Sebab, otak memang tidak mampu untuk itu. Entah kenapa tiba-tiba saya menulis ini. Tentu sebagai bahan refleksi dan kritik untuk diri sendiri. “Berat sekali agama ini”. Mengenal Allah saja sulit. Apalagi untuk patuh kepada-Nya. Nabi Muhammad sendiri rasanya ingin lari. Ingin terus menarik selimutnya. Tok gara-gara terlanjur makrifat! Pada awalnya, hidup beliau sudah nyaman sekali. Bolak balik kawan itu melakukan wisata niaga, Mekkah-Syam. Sambil ngopi-ngopi sepanjang jalan. Tiba-tiba ia mengenal Tuhan. Jadi Nabi pula. Lalu disuruh perangi kaum dan saudara-saudaranya sendiri. Berat itu !!

πŸ’•πŸ’•πŸ’• ---------------------------------------------- ---------------------------------------------- Sebagian nabi beruntung bisa survive. Tapi tidak sedikit dari mereka yang dibenci, diisolasi dan dituduh sesat. Bahkan banyak pewarisnya yang dibunuh, diracun. Makanya, tidak usahlah bercita-cita menjadi ulama. Apalagi sampai ada sekolah yang bertujuan melahirkan ulama. Bukan tugas kita. Didik saja orang untuk menjadi orang kaya, biar berkurang jumlah orang miskin di sekeliling kita. Yang disebut ulama itu adalah nabi. Pewaris tauhid dan makrifatnya nabi. Tidak ada sekolah untuk itu. Dan tidak usah bercita-cita untuk jadi itu. Jadi orang baik saja sudah lebih dari cukup. Kalau sekedar ingin menguasai kitab, menjadi ahli kitab, itu silakan. Bagus sekali. Ada sekolahnya. Ada kurikulumnya. Sejak di pesantren sampai S3. Baik di dalam maupun luar negeri, dengan aneka text book (Arab, Inggris dan Jawi).

Tapi kalau sampai mewarisi keramat/mukjizat ilahi, itu tidak ada sekolahnya. Tidak diperoleh dengan banyak membaca, atau sekolah tinggi-tinggi. Silakan mempelajari agama untuk mengetahui tentang seluk beluk Islam. Tapi untuk menjadi ulama sebagai pewaris (mukjizat) nabi, sebaiknya jangan. Itu hak Tuhan. Saya tidak ingin membatasi jumlah ulama. Hanya definisi operasional “ulama” menurut saya sangatlah ketat. Mereka bukan wilayah otoritas pilihan manusia. Disaat yang sama memang banyak guru agama dan ahli fikih lainnya, yang mengajari kita mulai Alif Ba' sampai aneka ragam referen yang tidak terhitung jumlahnya. Semua WAJIB dihormati. Tapi ulama, itu wilayah ketetapan Tuhan. Terserah Dia mau memilih siapa untuk menjadi wakil-Nya. Karena mereka adalah imam, khalifah ruhaniah manusia. Bukan jenis orang yang kita angkat. Bukan hasil voting dalam sebuah kongres ternama. Bukan seseorang yang disahkan dengan SK-presiden, gubernur atau bupati. Justru merekalah yang meng-SK-kan presiden. Merekalah yang memanggil presiden, bukan sebaliknya. Mereka ini orang-orang yang sangat sabar. Tahan banting. Sidik. Amanah. Fatanah. Tabligh. Pantang menegosiasikan kebenaran. Konek dengan Tuhan. Kalau ada orang seperti ini, Alhamdulillah. Kalau tidak, berarti kita sedang kelangkaan ulama. Karena, kalau orang seperti saya disebut ulama, bisa kacau dunia. Sebab, belum dipanggil pun, sudah datang ke pendopo istana. Para nabi, seandainya bisa memilih, tak ada yang mau jadi utusan Tuhan. Para ulama/wali juga begitu. Tidak enak profesi mereka itu. Lebih enak jadi pedagang. Menjadi ulama memang bukan sesuatu yang dicita-citakan. Tapi mau bagaimana lagi. Terkadang sudah terlanjur menjadi kekasih Tuhan. Sudah dipanggil. Dikawal. Diawasi. Tidak bisa lari lagi. Sudah terlanjur bermakrifat !!

Repost.
TG.
#saidmuniruddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ilmu Spiritual Indonesia

DZIKIRNYA SETAN

KENAPA BANYAK ORANG YANG BERDZIKIR TAPI MEMBUATNYA SEMAKIN DEKAT DENGAN SYAITHON? Seorang murid bertanya kepada GURU-nya yakni Imam al-Ghoz...

Kajian syariat,tarikat,hakikat dan makrifat